Senin, 17 September 2012
Atas: Arca Syiwa ini dibangun pada masa Kerajaan Kediri yang bercorak Hindu sebagai persembahan kepada Dewa Syiwa.
<< Kiri atas : Kerjasama tentara Mongol dan pasukan Arya Wiraraja dapat mengalahkan pasukan Kediri di bawah pimpinan Jayakatwang.
<< Tengah : Arca ini menggambarkan seorang laki-laki pada masa Kerajaan Kediri.
Runtuhnya Kediri
Setelah berhasil mengalah kan Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit kembali di bawah pemerintahan Jayakatwang. Salah seorang pemimpin pasukan Singasari, Raden Wijaya, berhasil meloloskan diri ke Madura. Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang memperbolehkan Raden Wijaya untuk membuka Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya. Pada tahun 1293, datang tentara Mongol yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan untuk membalas dendam terhadap Kertanegara. Keadaan ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Ia bekerjasama dengan tentara Mongol dan pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk menggempur Kediri. Dalam perang tersebut pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan Kediri.
Perkembangan Kerajaan Kediri
Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Akan tetapi hilangnya jejak Jenggala mungkin juga disebabkan oleh tidak adanya prasasti yang ditinggalkan atau belum ditemukannya prasasti yang ditinggalkan Kerajaan Jenggala. Kejayaan Kerajaan Kediri sempat jatuh ketika Raja Kertajaya (1185-1222) berselisih dengan golongan pendeta. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Akuwu Tumapel Tunggul Ametung.
Namun kemudian kedudukannya direbut oleh Ken Arok. Diatas bekas Kerajaan Kediri inilah Ken Arok kemudian mendirikan Kerajaan Singasari, dan Kediri berada di bawah kekuasaan Singasari. Ketika Singasari berada di bawah pemerintahan Kertanegara (1268-1292), terjadilah pergolakan di dalam kerajaan. Jayakatwang, raja Kediri yang selama ini tunduk kepada Singasari bergabung dengan Bupati Sumenep (Madura) untuk menjatuhkan Kertanegara. Akhirnya pada tahun 1292 Jayakatwang berhasil mengalahkan Kertanegara dan membangun kembali kejayaan Kerajaan Kediri.
KERAJAAN KEDIRIKerajaan Kediri adalah sebuah kerajaan besar di Jawa Timur yang berdiri pada abad ke-12. Kerajaan ini merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno. Pusat kerajaanya terletak di tepi S. Brantas yang pada masa itu telah menjadi jalur pelayaran yang ramai. | ||||
Kerajaan Kediri lahir dari pembagian Kerajaan Mataram oleh Raja Airlangga (1000-1049). Pemecahan ini dilakukan agar tidak terjadi perselisihan di antara anak-anak selirnya. Tidak ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian. Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian. Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri (Pangjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Pangjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri. |
Candi Surowono
Candi Surowono, terletak di desa Canggu, kecamatan Pare, 28 Km dari pusat Kota Kediri. Bangunan candi merupakan hasil karya peninggalan sejarah sebagai tempat penyucian Raja Wengker, yang merupakan Raja bawahan dari masa kerajaan Mojopahit.
Candi Surowono yang berukuran 8 x 8 Meter dan telah dibangun sejak 1400 Masehi ini memiliki nama asli Wishnubhawanapura. Sampai sekarang, candi ini tidak dalam keadaan yang utuh, tapi di beberapa bagian masih bisa terlihat bentuk relief dan beberapa cerita yang di pahatkan.
Candi Tegowangi
Sesuai dengan namanya, candi ini terletak di Desa Tegowangi, kecamatan Plemahan, sekitar 4 Km dari pusat kota Pare Kediri.
Candi Tegowangi memiliki ketinggian sekitar 4,35 M dan berukuran 11,20 x 11,20 M.
Seperti yang disebutkan dalam Kitab Paraton, candi Tegowangi merupakan tempat pendermaan Bhre Matahun. Dalam kitab Negarakertagama, dijelaskan bahwa Bhre Matahun meninggal tahun 1310 C (1388 M), maka diperkirakan candi ini dibangun pada tahun 1400 di masa majapahit, karena pendhermaan seorang raja dilakukan 12 tahun setelah sang raja meninggal dengan upacara Srada.
Menelisik dari bentuk bangunan, candi Tegowangi berbentuk bujur sangkar dan menghadap ke barat. Pondasinya terbuat dari batu bata, sedangkan balur kaki dan sebagian tubuh yang tersisa terbuat dari batu andesit. Bagian kaki candi berlipit dan berhias. Tiap sisi kaki candi ditemukan tiga panil tegak yang dihiasi raksasa atau gana yang duduk berjongkok, kedua tangan diangkat ke atas seperti mendukung bangunan candi. Di atasnya terdapat tonjolan-tonjolan berukir melingkari kaki candi. Di atas candi terdapat sisi genta yang berhias.
Di halaman candi terdapat beberapa arca, yaitu Parwati, Ardhanari, Garuda berbadan manusia, dan sisa-sisa bangunan candi di sudut tenggara. Candi ini diyakini sebagai candi beraliran agama hindu.
Jumat, 27 April 2012
Rahasia Pertapaan Dewi Kilisuci di Gunung Klotok mbah subowo bin sukaris
Goa batu alam
pertapaan Dewi Kilisuci yang berada di Gunung Klotok berukuran sekitar 3x4
meter persegi, di bagian dalam goa terdapat prasasti huruf Palawa yakni pada
bagian dinding bawah. Goa batu hasil pahatan tangan nenek moyang itu oleh
penduduk setempat mendapat julukan Goa Selo Bale, artinya kurang-lebih bangunan
tempat tinggal.
Goa inilah pusat
perhatian di masa pemerintahan Baginda Erlangga 1035-an sewaktu beliau yang
sudah sepuh memutuskan turun takhta dan menjadi pertapa di lereng gunung
Penanggungan. Sedangkan Putri Mahkota pewaris kerajaan Dewi Kilisuci yang
seharusnya menaiki singgasana karena menderita penyakit kedhi alias tidak
pernah mengalami menstruasi -- sehingga kemudian dianggap wanita suci pepunden
tanah jawi -- akhirnya juga ikutan bertapa mendaki Gunung Klotok.
Babat Kadhiri menyebut sekilas mengenai perilaku orang Kediri yang
meniru-niru laku Dewi Kilisuci, akan tetapi sayangnya meniru dalam fasal
adigang, adigung, dan adiguna, baik kaum wanitanya maupun kaum prianya. Konon
terdapat kutukan pada kerajaan Kediri tatkala terlibat dalam peperangan dengan
musuh sebagai berikut, "Jika pasukan Kediri menyerang musuh di daerah
lawan lebih dulu akan selalu memenangkan pertempuran, akan tetapi sebaliknya
jika musuh langsung menyerang ke pusat kerajaan Kediri lebih dulu maka musuh
itu akan selalu berhasil memperoleh kemenangan yang gemilang." Barangkali
karena kutukan itulah konon para presiden Republik Indonesia selalu menghindari
untuk singgah ke kota Kediri dalam setiap perjalanan di wilayah Jawa Timur.
Mungkin tatkala sedang singgah di kota Kediri mereka beranggapan akan mudah
diserang oleh musuh atau lawan politiknya.
Berkaitan turun takhtanya Sri Baginda Erlangga
atau Airlangga sejarah kemudian mencatat atas perintah baginda maka kerajaan
dibagi dua oleh Mpu Bharada, dan masing-masing bagian kerajaan, Daha dan
Jenggala, dipimpin oleh putra dari selir Erlangga.
Sebuah pengalaman
singkat mengunjungi situs pertapaan Dewi Kilisuci pada 1990-an selama beberapa
minggu, maka siapa pun yang beruntung tatkala mengunjungi goa batu alami di punggung
gunung Klotok sebelah Timur segaris lurus dengan Goa Selomangleng akan
menjumpai seorang pertapa sepuh berusia delapan puluhan. Tampilannya biasa saja
seperti petani, ia tidak mengenakan apapun selain celana panjang dan baju
safari, pakaiannya itu pun tampak sudah tua. Ia seorang diri berada di tengah
hutan belantara Klotok yang masih cukup lebat di masa itu. Air terjun di mulut
goa tak henti mengalirkan air jernih dari sumber mata air berupa bebatuan cadas
di punggung gunung itu.
Pertapa itu berambut
putih, bertubuh langsing, wajahnya tampak berseri-seri. Ia tidak banyak bicara
apalagi jika tidak ditanya oleh orang yang beruntung dapat menjumpainya di goa
Selobale tersebut.
"Bapak tinggal sendirian di sini sedang
melakukan apa?"
"Saya hanya
menjaga tempat ini atas dawuh susuhunan kraton Solo. Karena kami dari kraton
Solo menganggap di sinilah tempat pertapaan Dewi Kilisuci yang sebenarnya, dan
bukan di Goa Mangleng di bawah sana maupun di tempat lainnya, Selomangleng itu
hanya sebuah museum belaka," katanya penuh keyakinan. "Kami dari
kraton Solo juga percaya bahwa leluhur kami berasal dari wilayah ini (dari
Kediri, Jawa Timur)." Ia tidak menjelaskan lebih lanjut tugas yang
diembannya dan juga alasan mengapa goa itu harus dijaga saat ini.
Selanjutnya ia
mengalihkan pembicaraan pada bangunan di luar goa, tepatnya di mulut goa
terdapat jurang dan di seberang jurang yang menganga berukuran tiga meter lebar
itu terdapat lubang goa mini berukuran satu meter persegi. Mengenai sedikit
hipotesis mengenai misteri goa Selo Mangleng yang belum pernah dipublikasikan
baca tulisan kami yang lain di blog ini berjudul, "Rahasia Kraton Sri Aji
Joyoboyo".
"Di tiga
ceruk/cekungan dinding gunung berupa batu cadas itulah para prajurit kerajaan
Kediri bertugas menjaga keamanan dan mudah mengawasi tempat ini," ujarnya.
Ia tidak menjelaskan lebih lanjut pengetahuannya yang mendalam mengenai goa
selobale. Barangkali ia tengah mengadakan studi mengenai situs goa selobale
dengan cara spiritual.
Memang jika kita
tengah berdiri di goa selobale maka samar-samar tampak di seberang air terjun
mini tampak pada dinding bukit batu yang kemiringannya 90 derajat atau tegak
lurus itu terdapat goa-goa berjumlah tiga yang jaraknya satu sama lain
teratur simetris dan berukuran satu meter persegi.
"Tempat ini dulu
tidak seperti ini, Ada jalan penghubung antara penjaga di seberang dan goa Selo
Bale ini. Wilayah ini sekarang dikuasai pihak militer dan dijadikan ajang
latihan perang-perangan menggunakan amunisi sungguhan. Mortir atau meriam biasa
digunakan jika sedang masa latihan pada tahun 70-an. Dan senapan serbu laras
panjang tidak terhitung lagi jumlah pelurunya yang berhamburan di sekitar goa
ini."
Memang benar semua
itu, penduduk di kawasan ini sudah tahu hal itu dan menganggap sebagai
hal biasa. Memang tidak ada unsur kesengajaan dari militer untuk merusak situs
itu, akan tetapi situs itu secara tak langsung terkena dampak buruknya.
"Goa Selo Bale
inilah yang benar-benar jadi tempat pertapaan putri Erlangga itu, bukan di Goa
Selo Mangleng, itu hanya museum semata-mata," ujar lelaki tua mengulangi
apa yang sudah dikatakannya belum beberapa bentar, kembali suaranya terdengar mantap
dan meyakinkan.
"Dulu tempat ini tidak sedalam ini, hanya
sampai sebatas sini," katanya menunjuk lantai goa. "Orang-orang yang
mencari harta-karun mencoba menggali dinding ini hingga bertambah sekitar
setengah meter. Tampaknya tidak berhasil mendapatkan apapun."
"Sampai sekarang
orang belum berhasil menemukan peninggalan heboh kerajaan Kediri. Mungkin
berada di balik bukit ini!" katanya serius, sambil menunjuk suatu sudut
punggung gunung. Jika kita berjalan melingkari bukit dan tiba di
balik bukit itu memang terdapat air terjun kecil, Tretes. Dan di seberang
sana sebelah selatan terdapat daerah dengan julukan Gemblung, bila orang
berjalan di atas daerah itu seolah ada suara dari dasar tanah berbunyi
"bung, bung, bung." Mungkin ada semacam ruang bawah tanah berukuran
besar.
Di balik bukit
sebelah timur terdapat sumber air suci Gunung Klotok, tempat itu terkenal
dengan sebutan Sumber Loh, karena di hulu aliran air yang lumayan deras itu
kebetulan terdapat sebatang pohon Lo berukuran raksasa, dan dari lobang-lobang
di sekitar akar pohon itulah awal mula mata air yang terus memancar sepanjang
masa, tak kenal musim, dan tak kenal jaman.
Tahun berganti tahun
berlalu di Goa Selobale, dan kini keadaan telah berubah, jika orang tersasar
atau sedang mendaki gunung Klotok dan tiba di tempat itu akan menjumpai kembali
goa tersembunyi itu sunyi seperti sediakala. Tidak seorang pun berada di sana
untuk dapat diajak bicara, kecuali suara serangga yang berdengung siang-malam.
Kesunyian itu juga melanda sebuah goa misteri yang lain lagi berada di balik
bukit tempat goa Selobali bertengger, goa yang lain itu disebut "Goa
Kikik", arti harfiahnya kurang lebih goa mini. Barangsiapa mencoba melacak
keberadaan goa yang satu itu akan kesulitan menemuinya karena tiada bedanya
dengan bongkahan batu biasa yang bertebaran di sekitar lokasi goa Kikik. Akan
tetapi perlu diketahui bahwa goa Kikik memang goa asli pahatan tangan
nenek-moyang di masa silam. Di masa silam Goa Kikik menjadi salah satu garis
pertahanan lain dari arena perbukitan itu untuk mengawasi dan memapak pendatang
pada masa silam dari jurusan barat laut yang sedang mengarah ke Goa Selo Bale
dengan niatnya masing-masing.
Rahasia Jowo Sanyoto agama negara majapahit adidaya bumi selatan yang terlarang*
Rahasia
Jowo Sanyoto
agama
negara majapahit
adidaya
bumi selatan
yang
terlarang*
mbah subowo bin sukaris
Jowo
sanyoto yang artinya sebuah kebenaran dari Jawa merupakan agama kawruh budi.
Agama kuno ini monotheis, mengakui keesaan Tuhan. Berbeda dengan Hindu-Jawa
yang merupakan polytheis, Jowo Sanyoto dalam intinya mengakui agama besar di
dunia beserta Rasul-rasul serta nabi-nabi pembawa wahyu dan ilham, di samping
hal-hal di atas yang berbeda ialah reinkarnasi pembawa wahyu Jowo Sanyoto lah
abadi pembuka sekaligus penutup dari manusia pilihan di bumi.
Cikal-bakal mengenai berkembangnya agama
negara Majapahit -- yang berhasil mendampingi kejayaan di laut selatan -- yaitu
pada masa Sri Aji Joyoboyo marak di kerajaan Kediri dan mempunyai pengaruh 75
persen di Nusantara. Perkembangan di bidang seni dan sastra dengan
menerjemahkan Barathayuddha ke bahasa Jawa kuno. Majapahit mengambil alih semua
kebesaran Joyoboyo, juga meniru membangun angkatan laut yang disegani di dunia.
Dalam agama Jowo Sanyoto memiliki kiblat
empat. Utara Selatan Timur Barat, mirip dengan ritual berkeliling dalam Buddha,
ditambah lima pancer atau pusat, yakni bertemu diri dalam keheningan. Bukan
bertemu sang Maha Esa. Ritual lain dalam Jowo Sanyoto ialah melakukan ritual
pada subuh dan senja hari, mirip dalam salah satu agama monotheis lain. Adapula
persembahan atau sesajen yang berbentuk kompas mengarah keempat mata angin, ini
mirip dengan Hindu.
Monotheisme dalam Jowo Sanyoto lebih
progressif dan dinamis karena mempercayai reinkarnasi pada sang penerima wahyu,
sehingga bertentangan dan melangkahi pandangan agama lain yang salah satunya
menyebutkan adanya nabi dan rasul pembuka dan penutup. Poin penting Jowo Sanyoto
mengakui semua kitab suci besar dan semua orang suci atau para nabi dan rasul.
engetahuan mengenai agama pendukung
kejayaan Majapahit ini digelapkan dalam sejarah oleh oknum-oknum yang tidak
menginginkan agama dan negara Majapahit bangkit kembali. Oleh sebab itulah yang
terjadi adalah kesesatan umat dengan membikin aliran-aliran yang tidak jelas
juntrungnya di masa modern ini.
Jowo Sanyoto memang sudah terkubur
hampir enam ratus tahun lalu, berkat kebobrokan para pejabat dan punggawa yang
korup ditambah serbuan dari utara yang membawa keyakinan baru dan ujungnya
ambruknya Majapahit menjadi kerajaan kecil-kecil yang di kemudian hari dapat
dengan mudah ditaklukkan oleh bangsa Barat yang datang ke Nusantara.
"Dalam negara baru diiring kekuasaan baru juga membawa agama baru,"
begitulah kata pujangga masyhur Pramoedya Ananta Toer.
______________
Pada 1983 agomo Jowo
Sanyoto pimpinan Ki Kere di Klaten, Jawa Tengah dilarang oleh rejim "Orde
Baru".
Rahasia Pertapaan Gunung Wilis
mbah subowo bin sukaris
Pada 1207 Dandang Gendis atau Sri Krtajaya Putra Mahkota kerajaan Kediri terakhir naik gunung Wilis untuk mengejar cintanya pada dewi Amisani anak Resi Brahmaraja.
Dandang Gendis kelak setelah menduduki tampuk singgasana kekuasaan di kerajaan Kediri pada akhirnya ditaklukkan oleh pasukan Arok di desa Ganter pada 1222 yang membikin pamor kerajaan Kediri menjadi pudar, mati suri, menjadi kerajaan kecil, dan kerajaan bawahan. Serangan Arok itu kelak dibalas oleh Jayakatwang seorang raja Kediri berikutnya, yang berhasil menyerang kerajaan Singosari dan hingga bahkan berhasil membunuh Baginda Sri Krtanegara sendiri pada 1290-an.
Resi Brahmaraja seorang pertapa di masa itu yang hidup bersama putrinya dewi Amisani. Konon kecantikan dewi Amisani tersebar ke seantero penjuru kerajaan Kediri. Dalam mengejar cinta dari sang pujaan hati inilah yang membulatkan tekad Dandang Gendis, yang masih sebagai seorang putra mahkota Kediri nekad kabur sendirian dari istana memasuki hutan belantara Wilis untuk menemukan di mana tempat tinggal sang pujaan hatinya.
Gunung Wilis yang termasuk gunung berapi memiliki satu puncak tertinggi yang bentuknya tidak lancip akan tetapi agak datar dan panjang. Sampai hari ini dari puncak Wilis mengalir berbagai sumber mata air yang turun ke bawah sebagian membentuk beberapa air terjun.
Salah satu air terjun dari puncak Wilis sebelah selatan di wilayah Besuki adalah Irenggolo. Kemudian di sebelah utara Wilis di wilayah Sawahan terbentuk pula air terjun Sedudo, konon Sedudo menjadi pasangan gaib daripada air terjun Coban Rondo yang terletak di wilayah Waduk Selorejo, Malang. Di samping kedua air terjun itu, kira-kira pada bagian tengah hampir mendekati puncak Wilis paling tinggi terdapatlah Air terjun Ngleyangan yang masih perawan di wilayah Bolawen.
Jika Irenggolo dan Sedudo sudah dibuka menjadi obyek wisata, air terjun Ngleyangan masih bertahan di tengah hutan belantara dan belum dibuatkan jalan ke sana. Lokasinya dari jalan aspal kira-kira satu jam jalan kaki orang dewasa.
Puncak air terjun Ngleyangan ternyata lebih dahsyat indahnya dibanding semua air terjun dari puncak Wilis lainnya, di puncak air terjun terdapat sisa situs berupa sumur dan patung-patung Hindu. Konon di situlah tempat Mpu Brahmaraja hidup bersama putrinya dewi Amisani menjalani laku tapa, walaupun sangat tersembunyi di tengah hutan belantara tempat itu pun akhirnya berhasil ditemukan oleh Dandang Gendis setelah berbulan-bulan mencarinya.
Untuk sampai ke atas sana tidak banyak rute yang bisa ditempuh, dan yang paling mudah memang hanya berpatokan pada beberapa rute memutar menuju lokasi puncak Air terjun Ngleyangan. Pada puncak air terjun itulah dahulu tempat Mpu Brahmaraja bertapa, dan ke tempat itulah Dandang Gendis pernah hidup bersama pertapa itu untuk beberapa waktu lamanya sampai ia dijemput pulang ke keraton Kediri untuk dinobatkan menjadi raja Kediri yang baru bergelar Sri Krtajaya untuk menggantikan Jayasheba yang mangkat beberapa bulan sebelumnya.
Dandang Gendis yang tengah marak sebagai raja Kediri sekaligus berhasil juga merebut hati putri Resi Brahmaraja tak lama berselang kemudian memboyong Dewi Amisani ke keraton Kediri yang kemudian dinobatkan untuk mendampinginya sebagai Paramesywari Kediri.
Rahasia Kraton Sri Aji Jayabaya
Rahasia Kraton Sri Aji Jayabaya
mbah
subowo bin sukaris
Kraton
atau pusat istana kerajaan Kediri dengan rajanya yang termasyhur karena
terbukti kebenaran ramalannya, Sri Aji Jayabaya, merupakan misteri karena
lokasinya belum ditemukan siapapun. Adapun lokasi pamuksan dan makam beliau
telah diketahui umum berada di daerah Mamenang, di sebelah timur Kediri.
Demikian pula menurut pengetahuan umum lokasi kraton Kediri semasa pemerintahan
Jayabaya berada di sekitar wilayah kaki Gunung Kelud dianggap telah musnah
terlanda lahar letusan gunung itu.
Dalam
menguak misteri kraton Jayabaya masa silam, di samping mengacu pada peninggalan
arkeologis dan transkrip yang berhasil ditemukan para pakar dalam bidang
tersebut, perlu juga mengkaji ilustrasi masa kini wilayah kerajaan Kediri; di
pusat kota Kediri di sisi timur sungai Brantas terdapat sebuah pasar
tradisional, Setono Bethek, istana bambu. Ada lagi Setono Gedhong, istana batu.
Tempat-tempat tersebut benarkah ada kaitan dengan istana kerajaan Kediri di
masa silam? Atau sekadar makam para ulama penyebar agama Islam belaka? Ada
sebuah nama lain di tepi Barat sungai Brantas yang menarik: Bandar Lor, Bandar
Kidul. Tampaknya memang di masa silam sebuah pelabuhan kuno!
Berabad-abad
sosok menarik Sri Aji Jayabaya dengan ramalan-ramalannya yang sebagian orang,
terutama penduduk di pulau Jawa percaya dan menganggap bahwa ramalan itu telah
terbukti kebenarannya, misalnya sosok kepemimpinan Presiden Sukarno telah
diramalkan beliau sebagai seorang putra dari ibu berasal dari pulau Dewata;
ramalan lain lagi masuknya balatentara Dai Nippon yang seumur jagung itu
diramalkan 900 tahun silam sebagai si kate cebol kepalang, dan seterusnya, maka
kami ingin menambahi sekadar wawasan guna mengarahkan pembaca dan pemerhati
sejarah Kediri mengenai kemungkinan adanya keraton Kediri di lokasi lain yang
masih merupakan misteri.
Pada
kira-kira 1135 maraklah raja Kediri kelak kemudian menjadi raja besar
Nusantara: Joyoboyo, Jayabaya, atau Jayabhaya. Kekuasaannya berpusat di Kediri,
Jatim, dan wilayah di bawah pengaruh kekuasaannya mencakup seluruh Pulau Jawa
(Java) ditambah Jambi, Tidore, dan Kalimantan.
Kediri,
kini yang kita kenal sebagai kotamadya, dulu merupakan pusat pemerintahan
sebuah kerajaan maritim Jawa yang berhasil mempersatukan sebagian besar wilayah
Nusantara, selalu mendapat serbuan dari berbagai pasukan asing: pada 1007
Sriwijaya menyerbu kerajaan Medang Kamulan di Kediri untuk menggulingkan prabu
Dharmawangsa sebagai balasan atas serangan Medang terhadap kerajaan Sriwijaya
pada 990, Arok mengalahkan pasukan Kediri di Ganter 1222 yakni di sebuah desa
di sekitar daerah Pujon, Malang, selanjutnya pada 1292 pasukan Mongol Kublai
Khan menyerbu dengan 1000 kapal yang berlayar langsung dari Tiongkok untuk
membalas dendam pada Sri Krtanegara. Apa lacur? Oleh mantu raja Jawa
(Krtanegara) tersebut, Raden Wijaya, pasukan Mongol digiring dipersilahkan
menggempur kraton Kediri Jayakatwang, hingga musnah.
Sejarah
mencatat Sri Krtanegara yang mengucapkan sumpah "Pamalayu" dalam
mempersatukan Nusantara, pada akhirnya gagal karena keburu diserang pasukan
Kediri, Jayakatwang dengan bantuan sang putra mahkota Raden Ardaraja yang juga
merupakan salah satu anak mantu sri Krtanegara penguasa Singosari, di samping
juga anak mantu lainnya Raden Wijaya yang bersikap netral dalam kemelut
tersebut. Dengan bantuan orang dalam di kerajaan Singosari tersebut akhirnya
pasukan Kediri berhasil mengalahkan Singosari dan sekaligus Sri Krtanegara
sendiri gugur dalam serbuan pasukan Kediri yang sama sekali di luar dugaan
tersebut. Dengan gugurnya Krtanegara maka berakibat Singosari pun pun runtuh.
Selanjutnya
Raden Wijaya dalam menghadapi pasukan Mongol yang telah menggempur Kediri dan
menewaskan Jayakatwang menggunakan taktik klasik Jawa dengan menyuguhkan tuak
terbaik dari tanah Jawa bagi seluruh personel pasukan Tiongkok -- tentu dengan
dalih minuman persahabatan. Oleh karena pasukan Mongol yang biasa menenggak
minuman keras itu tingkahnya "rese", sehingga pada akhirnya Raden
Wijaya dan pasukan Jawa menghalau secara paksa agar pasukan Mongol kembali ke
kapal mencabut sauh pergi belayar ke Tiongkok kembali. Sebagian pasukan Mongol
yang menolak kembali dan ingin tinggal di Jawa tentu diijinkan, dan bagi
pasukan Mongol yang mengajak ribut tentu dapat dilayani oleh pasukan Raden
Wijaya. Oleh karena misi pasukan Mongol telah mereka anggap selesai, maka
sebagian besar dengan senang hati walau dalam keadaan setengah mabuk untuk naik
ke kapal mereka.
Dengan
runtuhnya Singosari oleh Kediri dan hancurnya Kediri oleh pasukan Tartar, maka
Majapahit yang mulai dibangun Raden Wijaya sesudah pasukan Tartar kembali ke
negerinya mulai menjadi kerajaan baru di Nusantara yang berkembang tanpa
gangguan dari kerajaan lain di Jawa Timur.
Serbuan
lain yang menimpa Kediri yakni pada 1527 Brawijaya terakhir dari kerajaan Daha
(Kediri) digempur oleh pasukan Mataram Islam Trenggono. Terakhir pejuang
nasional Trunojoyo berhasil dikalahkan oleh Belanda di Kediri.
Dalam
Babad Kadhiri disebutkan bahwa membangun basis pertahanan di Kediri akan
selalu kalah jika diserang musuh lebih dulu, "Hamula, saben ana paprangan,
yen sing nantang perang kuwi wong Kediri, wong Kediri mesthi menang. Nanging
yen wong njaban Kediri sing ngrabasa utawa nantang luwih dhisik, wong Kediri
lumrahe bakal kalah." Terjemahan bebas kurang lebih, "Oleh karena
itu, tiap terjadi peperangan, apabila orang Kediri yang menantang musuh dan
menyerang secara langsung atau memulai untuk berperang lebih dulu, maka pasukan
orang Kediri pasti selalu menang. Akan tetapi apabila pasukan asing dari luar
kediri menggempur dan menyerbu atau menantang langsung untuk berperang lebih
dulu, maka sudah lumrah sebagai tuan rumah pasukan Kediri akan menderita
kekalahan."
Pada
masa pemerintahan Jayabaya kekuatan militer kerajaan maritim Kediri terletak
pada angkatan lautnya yang kuat pada masanya hingga mampu menjaga wilayah
kerajaan di seberang pulau yang jauh dari pusat kekuasaan di pedalaman Jawa
bagian timur itu.
Kota
Kediri yang kita kenal sekarang dibelah oleh sungai Brantas, sungai itu
lebarnya kurang lebih 1000 meter. Di masa silam, kapal-kapal perang dan dagang
diperkirakan bisa melayari sungai Brantas sepanjang aliran mulai dari pelabuhan
laut di Surabaya terus masuk ke pedalaman hingga merapat pusat kota Kediri,
sekarang lokasi pelabuhan di tepi sungai di Kediri itu diberi nama pelabuhan
Jayabaya, lokasinya di daerah yang kini bernama Bandar Lor.
Satu
kilometer ke barat sejak pelabuhan Bandar atau pelabuhan Jayabaya tersebut
terbentang jalan lurus menuju bukit Klotok (arti harfiahnya: kolo thok,
banyak kolo, banyak penyakit).
Sebuah
prasasti batu raksasa masih menjadi misteri asal-usulnya, diperkirakan dibangun
di masa jaman keemasan kerajaan Kediri, yaitu era Jayabaya. Prasasti berbentuk
goa berukuran 3 x 10 meter itu diberi nama Mangleng (artinya museum). Bangunan
goa Mangleng atau Selomangleng, yang juga disebut museum Jayabaya yang
didirikan sekitar tahun 1150-an pada masa Jayabaya itu letaknya cukup
terlindung berada di antara bukit-bukit. Di sebelah depan (50 meter) adalah
bukit Mas Kumambang yang menurut penduduk setempat terkenal dengan legenda maling
sakti. Maling sakti yang hidup di masa kolonial Belanda itu bernama Ki
Boncolono bersama dua sahabatnya Tumenggung Poncolono dan Tumenggung Mojoroto.
Kuburan ketiganya berada di puncak bukit Mas Kumambang. Pemkot Kediri telah
membangun tangga cor menuju puncak Mas Kumambang.
Mengapa
cuma membangun sebuah goa batu alam dibandingkan tigaratus tahun sebelum itu
telah berdiri Candi Borobudur yang megah di Jawa Tengah?
Diperkirakan
Goa Selomangleng merupakan bagian dari bukit Mas Kumambang (emas terapung),
akan tetapi kemudian dipisahkan oleh jalan melingkari bukit tersebut, sehingga
goa itu dapat dicapai dari dua jurusan.
Jika
kita mendaki bukit Klotok itu lurus saja tepat setelah menempuh sekitar dua
kilometer ke arah puncak bagian tengah, kita dapat menjumpai dan menemukan
petilasan Dewi Kilisuci, tepat di sisi air terjun kecil mengalir ke bawah,
menjadi sungai kecil. Dewi Kilisuci merupakan salah seorang anak Prabu Erlangga
atau Airlangga yang bertakhta di Kediri pada 1035.
Petilasan
Prabu Jayabaya yang dikenal sekarang di desa Mamenang atau Pamenang kec.
Pagu berada sekitar enam kilometer ke arah timur pusat kota Kediri berada
di kawasan kaki gunung Kelud.
Pusat
kerajaan Kediri diperkirakan berada di sekitar Goa Selomangleng, ada sebuah
daerah Boto Lengket yang sekarang dijadikan markas Brigif (Brigade Infantri)
XVI. Di lokasi Boto Lengket dekat desa Bujel itu tanpa sengaja telah ditemukan
batu-batu bata berukuran besar terpendam dalam tanah yang mungkin merupakan
bekas bahan pondasi bangunan. Menurut Babad Kadhiri, "Negara
Daha sing dumunung ing sisih kulone Kali Brantas, ing wetane Desa Klotok lan
Geneng banjur salin aran dadi negara Kediri," (terjemahan bebas kurang
lebih, "Kerajaan Daha yang berkedudukan di sisi sebelah barat Sungai
Brantas, dan berada di sebelah timur Desa/Gunung Klotok dan Desa Geneng maka di
kemudian hari berganti sebutan menjadi Kerajaan Kediri,") ada kecocokan
wilayah sekitar Boto Lengket, Desa Bujel yakni lokasinya berada di antara
gunung Klotok dan Sungai Brantas sebagai lokasi pusat kraton Kediri. Penemuan
itu belum pernah dipublikasikan, karena masih bersifat penemuan pribadi.
Diperkirakan tepat di markas Brigif XVI yang baru dibangun dalam dua tahun
terakhir itulah letak pusat Kerajaan Kediri di masa pemerintahan Prabu Sri Aji
Jayabaya.
Mengapa
Brigif XVI Kediri berada secara kebetulan dibangun di sana? Dari segi strategi
perang, maka lokasi itu sangat strategis untuk medan pertahanan dari serangan
musuh. Letaknya berada di antara bukit-bukit yang berhutan lebat di masa lalu,
cocok untuk berlindung sementara bila diserang musuh. Dan untuk mengundurkan
diri dari serangan besar-besaran dapat masuk hutan di kaki bukit Klotok.
Ditambah lagi pada masa silam, dari puncak bukit Mas Kumambang seorang
prajurit dapat mengawasi pelabuhan dan seluruh kota Kediri, sekaligus
memberikan isyarat kedatangan musuh yang menyerang dari sungai atau dari
daratan.
Memang
benar-benar strategis tempat itu dalam strategi perang kuno.
Di
sekitar daerah hipotesis kraton di bagian sebelah utara kawasan
itu terdapat sumber mata air yang sampai hari ini tidak pernah kering
sekalipun kemarau panjang.
Demi
efektifnya roda pemerintahan maka lokasi kraton itu tidak begitu jauh dari
pelabuhan hipotesis Bandar. Tatkala tamu kehormatan kerajaan datang melalui
sungai brantas, perjalanan tidak begitu jauh untuk sampai tujuan di kraton
Kediri.
Museum
Airlangga di sisi selatan bukit Mas Kumambang yang dibangun oleh Pemkot Kota
Kediri letaknya persis di seberang Museum Jayabaya yang dibangun Prabu
Jayabaya, Goa Selomangleng. Goa Selomangleng selama ribuan tahun menjadi
prototipe rumah-rumah penduduk di tanah Jawa. Ada senthong kiri, ada senthong
kanan. Dan ada dua ruang tengah. Dalam tradisi Jawa senthong tengah tidak
boleh dihuni. Dan hanya dipergunakan untuk upacara tertentu atau meletakkan sesaji.
Goa
Batu itu di dalamnya penuh dengan hiasan gambar-gambar dinding, dan pada
senthong kanan (dilihat dari luar goa) terdapat tempat pemujaan patung prabu
Airlangga penjelmaan Wishnu yang masih mulus belum dirusak tangan jahil. Pada
pintu masuk dari depan sebelah kiri (terdapat dua "pintu" utama di
bagian depan goa) ada penyambut berupa patung batu berbentuk garuda tumpangan
Sang Prabu Erlangga yang mulai rusak oleh tangan jahil.
Salah
satu ramalan Jayabaya, Ronggowarsito, dan uga wangsit Siliwangi yakni
menyangkut kemunculan ratu adil atau lebih populer dan salah kaprah disebut
sebagai "satrio piningit" yang berwujud bocah angon bertempat tinggal
di tepi sungai, bukankah hingga sekarang nama sungai tersebut masih
misteri? "Satrio Piningit" itu tinggal di rumah tingkat tiga yang di
depan rumahnya terdapat dua jenis pohon: Hanjuang (pohon ini daunnya berwarna
merah hati tua (marun) biasanya digunakan pada acara nadran syeh abdul qadir
jaelani), dan Handeuleum (pohon ini cuma setinggi setengah meter dan berbatang
lunak ini serta berdaun merah hati tua (marun) ini di Jawa Barat digunakan
sebagai tanaman obat, rebusan daun Handeuleum dipercaya dapat menyembuhkan
wasir atau ambeien). Bisa jadi sungai yang dimaksud bila menurut ramalan itu
sang ratu adil muncul dari sebelah timur Gunung Lawu, maka terdapat Sungai
Madiun, dan jika sebelah timur Gunung Lawu yakni Gunung Wilis maka sebelah
timurnya (daripada G. Wilis) terdapat Sungai Brantas, kedua sungai tersebut
berada di wilayah Jawa Timur.
Sebagai
sebuah hipotesis saat ini samar-samar sang ratu adil dengan ciri-ciri
tersebut memang sudah muncul bahkan mencalonkan diri sebagai orang nomor satu
di NKRI, akan tetapi belum berhasil karena terganjal undang-undang pemilihan
calon presiden yang hanya dapat dilalui dari satu pintu, yakni melalui
pencalonan yang diajukan oleh satu atau gabungan daripada partai politik.
Diharapkan di masa depan diupayakan solusi yang lebih baik serta lebih adil
lagi guna mendapatkan pemimpin yang terbaik di Nusantara, yakni dengan merevisi
undang-undang yang terkait sistem pencalonan presiden sehingga memungkinkan
tampilnya calon presiden dari wakil independen. Satrio piningit (yang dimaksud
di sini Ratu Adil) itu mendapat dukungan kuat langsung maupun tak langsung dari
sebuah perusahaan raksasa G2 yang berada di tepi Sungai Brantas kota Kediri,
kantor pusatnya yang berlantai tiga tepat di seberang pelabuhan wisata
Jayabaya. Satrio Piningit yang masih samar-samar itu berasal dari daerah
yang lokasinya tepat simetris di tengah daripada ujung barat dan timur
pulau Jawa.
Saat
ini permunculan samar-samar Satrio Piningit (yang dimaksud di sini ratu adil)
yang kelak memimpin Nusantara memang belum menerima wahyu illahi atau pulung
keprabon, momen itu akan datang kelak usai terjadi goro-goro/huru-hara
besar terjadi atas kehendak tuhan; huru-hara usai akan terbentuklah
tatanan dunia baru berikut peran dan kedudukan Nusantara tertinggi di bumi
selatan. Tatanan pemerintahan baru di Nusantara kelak itulah yang dipimpin oleh
sang ratu adil.
Pada
Jaman Dahulu, Di Kediri ada sebuah kerajaan besar. Kerajaan Medang namanya.
Rajanya bernama Prabu Airlangga. Prabu Airlannga berasal dari Pulau Bali. Ia
adalah seorang putra raja di Bali. Ia menjadi Raja Medang setelah menikah
dengan Putri Raja Medang.
Saat usia Prabu Airlangga sudah tua, Ia ingin
menjadi pertapa. Tahta Kerajaan Medang akan di serahkan pada Putri
Permaisurinya yang hanya seorang. Ia putri yang cantik jelita. Namanya Dyah
Sangramwijaya.
Dyah Sangramwijaya menolak keinginan Ayahanda
nya. Ia tidak punya keinginan menjadi Raja. Yang menjadi keinginan Dyah
Sangramwijaya adalah menjadi seorang pertapa. Ia lalu meminta restu ayahanda
nya menjadi pertapa di Goa Selomangleng ( Di Kaki Gunung Klotok Kecamatan
Mojoroto Kota Kediri). Ia pun mengubah namanya menjadi Dewi Dewi Kilisuci.
Prabu Airlangga lalu berkeinginan menyerahkan
tahta kerajaan pada putranya yang berasal dari selir ( Istri tidak resmi ).
Kebetulan sekali, Ia memiliki dua putra dari selir. Kedua Putranya bernama
Raden Jayengrana dan Raden Jayanagara. Prabu kebingungan untuk memilih salah
satu yang akan di beri tahta Kerajaan Medang.
Prabu Airlangga berusaha mencari jalan keluar
yang adil. Ia menyuruh Empu Baradha untuk pergi ke Bali. Empu Baradha disuruh
meminta tahta kerajaan milik Ayahanda Prabu Airlangga di Pulau Bali untuk
salah satu putranya.
Namun, Tahta kerajaan milik ayahanda Prabu Airlangga di Bali sudah diberikan kepada adik Prabu Airlangga.
Namun, Tahta kerajaan milik ayahanda Prabu Airlangga di Bali sudah diberikan kepada adik Prabu Airlangga.
"
Tahta milik Ayahanda Prabu Airlangga di Pulau Bali sudah diberikan kepada
adik Prabu Airlangga yang bernama Anak Wungsu!" Lapor Empu Baradha
setibanya dari Pulau Bali.
" Tak apa-apa, Bapak Empu! Terima kasih
Bapak Empu sudah melaksanakan apa yang kusuruh. Sekarang bantu aku membagi
Kerajaan Ini dengan adil untuk kedua putraku, Raden Jayengrana dan Raden
Jayanagara!"
”Baiklah, Baginda Raja! Bagaiman kalau hamba
yang membagi kerajaan medang ini menjadi dua bagian yang sama besar?"
" Itu lebih baik Bapak Empu! Tapi, bagaimana caranya Bapak Empu membagi kerajaan ini menjadi dua bagian sama besar?"
" Serahkan semuanya pada hamba,Baginda Raja! Hamba yang akan mengaturnya!"
" Baiklah Bapak Empu! Kuserahkan semua persoalan ini kepada Anda!"
" Itu lebih baik Bapak Empu! Tapi, bagaimana caranya Bapak Empu membagi kerajaan ini menjadi dua bagian sama besar?"
" Serahkan semuanya pada hamba,Baginda Raja! Hamba yang akan mengaturnya!"
" Baiklah Bapak Empu! Kuserahkan semua persoalan ini kepada Anda!"
Keesokan harinya, Empu Baradha terbang sambil
membawa Kendi ( Teko dari tanah liat ) berisi air. Dari angkasa, ia
tupahkan air kendi itu sambil terbang melintas persis di tengah-tengah Kerajaan
Medang. Ajaibnya, Tanah yang terkena tumpahan air Kendi langsung berubah
menjadi sungai. Sungai itu semakin besar dan airnya deras. Sungai itu sekarang
bernama Sungai Berantas.
Kerajaan Medang pun sekarang terbagi menjadi
dua bagian. Batasnya adalah ciptaan Empu Baradha. Prabu Airlangga pun
menyerahkan dua bagian dari Kerajaan Medang itu kepada Raden Jayengrana dan
Raden Jayanagara.
" Bagian Kerajaan Medang sebelah timur sungai aku serahkan pada Putraku Raden Jayengrana! Kerajaan itu aku beri nama Kerajaan Jenggala, Sedangkan bagian barat sungai aku serahkan pada putraku Raden Jayanagara. Kerajaan itu kuberi nama Kerajaan Kadiri ( sekarang Kota Kediri )." titah Prabu Airlangga.
" Bagian Kerajaan Medang sebelah timur sungai aku serahkan pada Putraku Raden Jayengrana! Kerajaan itu aku beri nama Kerajaan Jenggala, Sedangkan bagian barat sungai aku serahkan pada putraku Raden Jayanagara. Kerajaan itu kuberi nama Kerajaan Kadiri ( sekarang Kota Kediri )." titah Prabu Airlangga.
Kini tentramlah hati Prabu Airlangga. Ia
dengan tenang pergi dari Kerajaan Medang ( Sebelum terbelah ) untuk menjadi
seorang pertapa. Prabu Airlangga menjadi pertapa di Pucangan. Ia mengganti
namanya menjadi Maharesi Gentayu. Ketika meninggal dunia, Jenazah Prabu
Airlangga dimakamkan di lereng Gunung Penanggungan sebelah timur.
That's the Legend..
That's the Legend..
Langganan:
Postingan (Atom)