object height="81" width="100%"> Lupakan regina - ibaratskata by SayaLupa Nama Saya

Jumat, 27 April 2012

Rahasia Pertapaan Dewi Kilisuci di Gunung Klotok mbah subowo bin sukaris


Rahasia Pertapaan Dewi Kilisuci di Gunung Klotok
mbah subowo bin sukaris

Goa batu alam pertapaan Dewi Kilisuci yang berada di Gunung Klotok berukuran sekitar 3x4 meter persegi, di bagian dalam goa terdapat prasasti huruf Palawa yakni pada bagian dinding bawah. Goa batu hasil pahatan tangan nenek moyang itu oleh penduduk setempat mendapat julukan Goa Selo Bale, artinya kurang-lebih bangunan tempat tinggal.
Goa inilah pusat perhatian di masa pemerintahan Baginda Erlangga 1035-an sewaktu beliau yang sudah sepuh memutuskan turun takhta dan menjadi pertapa di lereng gunung Penanggungan. Sedangkan Putri Mahkota pewaris kerajaan Dewi Kilisuci yang seharusnya menaiki singgasana karena menderita penyakit kedhi alias tidak pernah mengalami menstruasi -- sehingga kemudian dianggap wanita suci pepunden tanah jawi -- akhirnya juga ikutan bertapa mendaki Gunung Klotok.
Babat Kadhiri menyebut sekilas mengenai perilaku orang Kediri yang meniru-niru laku Dewi Kilisuci, akan tetapi sayangnya meniru dalam fasal adigang, adigung, dan adiguna, baik kaum wanitanya maupun kaum prianya. Konon terdapat kutukan pada kerajaan Kediri tatkala terlibat dalam peperangan dengan musuh sebagai berikut, "Jika pasukan Kediri menyerang musuh di daerah lawan lebih dulu akan selalu memenangkan pertempuran, akan tetapi sebaliknya jika musuh langsung menyerang ke pusat kerajaan Kediri lebih dulu maka musuh itu akan selalu berhasil memperoleh kemenangan yang gemilang." Barangkali karena kutukan itulah konon para presiden Republik Indonesia selalu menghindari untuk singgah ke kota Kediri dalam setiap perjalanan di wilayah Jawa Timur. Mungkin tatkala sedang singgah di kota Kediri mereka beranggapan akan mudah diserang oleh musuh atau lawan politiknya.
 Berkaitan turun takhtanya Sri Baginda Erlangga atau Airlangga sejarah kemudian mencatat atas perintah baginda maka kerajaan dibagi dua oleh Mpu Bharada, dan masing-masing bagian kerajaan, Daha dan Jenggala, dipimpin oleh putra dari selir Erlangga.
Sebuah pengalaman singkat mengunjungi situs pertapaan Dewi Kilisuci pada 1990-an selama beberapa minggu, maka siapa pun yang beruntung tatkala mengunjungi goa batu alami di punggung gunung Klotok sebelah Timur segaris lurus dengan Goa Selomangleng akan menjumpai seorang pertapa sepuh berusia delapan puluhan. Tampilannya biasa saja seperti petani, ia tidak mengenakan apapun selain celana panjang dan baju safari, pakaiannya itu pun tampak sudah tua. Ia seorang diri berada di tengah hutan belantara Klotok yang masih cukup lebat di masa itu. Air terjun di mulut goa tak henti mengalirkan air jernih dari sumber mata air berupa bebatuan cadas di punggung gunung itu.
Pertapa itu berambut putih, bertubuh langsing, wajahnya tampak berseri-seri. Ia tidak banyak bicara apalagi jika tidak ditanya oleh orang yang beruntung dapat menjumpainya di goa Selobale tersebut.
 "Bapak tinggal sendirian di sini sedang melakukan apa?"
"Saya hanya menjaga tempat ini atas dawuh susuhunan kraton Solo. Karena kami dari kraton Solo menganggap di sinilah tempat pertapaan Dewi Kilisuci yang sebenarnya, dan bukan di Goa Mangleng di bawah sana maupun di tempat lainnya, Selomangleng itu hanya sebuah museum belaka," katanya penuh keyakinan. "Kami dari kraton Solo juga percaya bahwa leluhur kami berasal dari wilayah ini (dari Kediri, Jawa Timur)." Ia tidak menjelaskan lebih lanjut tugas yang diembannya dan juga alasan mengapa goa itu harus dijaga saat ini.
Selanjutnya ia mengalihkan pembicaraan pada bangunan di luar goa, tepatnya di mulut goa terdapat jurang dan di seberang jurang yang menganga berukuran tiga meter lebar itu terdapat lubang goa mini berukuran satu meter persegi. Mengenai sedikit hipotesis mengenai misteri goa Selo Mangleng yang belum pernah dipublikasikan baca tulisan kami yang lain di blog ini berjudul, "Rahasia Kraton Sri Aji Joyoboyo".
"Di tiga ceruk/cekungan dinding gunung berupa batu cadas itulah para prajurit kerajaan Kediri bertugas menjaga keamanan dan mudah mengawasi tempat ini," ujarnya. Ia tidak menjelaskan lebih lanjut pengetahuannya yang mendalam mengenai goa selobale. Barangkali ia tengah mengadakan studi mengenai situs goa selobale dengan cara spiritual.
Memang jika kita tengah berdiri di goa selobale maka samar-samar tampak di seberang air terjun mini tampak pada dinding bukit batu yang kemiringannya 90 derajat atau tegak lurus  itu terdapat goa-goa berjumlah tiga yang jaraknya satu sama lain teratur simetris dan berukuran satu meter persegi.
"Tempat ini dulu tidak seperti ini, Ada jalan penghubung antara penjaga di seberang dan goa Selo Bale ini. Wilayah ini sekarang dikuasai pihak militer dan dijadikan ajang latihan perang-perangan menggunakan amunisi sungguhan. Mortir atau meriam biasa digunakan jika sedang masa latihan pada tahun 70-an. Dan senapan serbu laras panjang tidak terhitung lagi jumlah pelurunya yang berhamburan di sekitar goa ini."
Memang benar semua itu, penduduk di kawasan ini  sudah tahu hal itu dan menganggap sebagai hal biasa. Memang tidak ada unsur kesengajaan dari militer untuk merusak situs itu, akan tetapi situs itu secara tak langsung terkena dampak buruknya.
"Goa Selo Bale inilah yang benar-benar jadi tempat pertapaan putri Erlangga itu, bukan di Goa Selo Mangleng, itu hanya museum semata-mata," ujar lelaki tua mengulangi apa yang sudah dikatakannya belum beberapa bentar, kembali suaranya terdengar mantap dan meyakinkan.
 "Dulu tempat ini tidak sedalam ini, hanya sampai sebatas sini," katanya menunjuk lantai goa. "Orang-orang yang mencari harta-karun mencoba menggali dinding ini hingga bertambah sekitar setengah meter. Tampaknya tidak berhasil mendapatkan apapun."
"Sampai sekarang orang belum berhasil menemukan peninggalan heboh kerajaan Kediri. Mungkin berada di balik bukit ini!" katanya serius, sambil menunjuk suatu sudut punggung gunung. Jika kita berjalan melingkari bukit dan tiba di balik bukit itu memang terdapat air terjun kecil, Tretes. Dan di seberang sana sebelah selatan terdapat daerah dengan julukan Gemblung, bila orang berjalan di atas daerah itu seolah ada suara dari dasar tanah berbunyi "bung, bung, bung." Mungkin ada semacam ruang bawah tanah berukuran besar.
Di balik bukit sebelah timur terdapat sumber air suci Gunung Klotok, tempat itu terkenal dengan sebutan Sumber Loh, karena di hulu aliran air yang lumayan deras itu kebetulan terdapat sebatang pohon Lo berukuran raksasa, dan dari lobang-lobang di sekitar akar pohon itulah awal mula mata air yang terus memancar sepanjang masa, tak kenal musim, dan tak kenal jaman.
Tahun berganti tahun berlalu di Goa Selobale, dan kini keadaan telah berubah, jika orang tersasar atau sedang mendaki gunung Klotok dan tiba di tempat itu akan menjumpai kembali goa tersembunyi itu sunyi seperti sediakala. Tidak seorang pun berada di sana untuk dapat diajak bicara, kecuali suara serangga yang berdengung siang-malam. Kesunyian itu juga melanda sebuah goa misteri yang lain lagi berada di balik bukit tempat goa Selobali bertengger, goa yang lain itu disebut "Goa Kikik", arti harfiahnya kurang lebih goa mini. Barangsiapa mencoba melacak keberadaan goa yang satu itu akan kesulitan menemuinya karena tiada bedanya dengan bongkahan batu biasa yang bertebaran di sekitar lokasi goa Kikik. Akan tetapi perlu diketahui bahwa goa Kikik memang goa asli pahatan tangan nenek-moyang di masa silam. Di masa silam Goa Kikik menjadi salah satu garis pertahanan lain dari arena perbukitan itu untuk mengawasi dan memapak pendatang pada masa silam dari jurusan barat laut yang sedang mengarah ke Goa Selo Bale dengan niatnya masing-masing.

Rahasia Jowo Sanyoto agama negara majapahit adidaya bumi selatan yang terlarang*


Rahasia Jowo Sanyoto
agama negara majapahit
adidaya bumi selatan
yang terlarang*

Jowo sanyoto yang artinya sebuah kebenaran dari Jawa merupakan agama kawruh budi. Agama kuno ini monotheis, mengakui keesaan Tuhan. Berbeda dengan Hindu-Jawa yang merupakan polytheis, Jowo Sanyoto dalam intinya mengakui agama besar di dunia beserta Rasul-rasul serta nabi-nabi pembawa wahyu dan ilham, di samping hal-hal di atas yang berbeda ialah reinkarnasi pembawa wahyu Jowo Sanyoto lah abadi pembuka sekaligus penutup dari manusia pilihan di bumi.
            Cikal-bakal mengenai berkembangnya agama negara Majapahit -- yang berhasil mendampingi kejayaan di laut selatan -- yaitu pada masa Sri Aji Joyoboyo marak di kerajaan Kediri dan mempunyai pengaruh 75 persen di Nusantara. Perkembangan di bidang seni dan sastra dengan menerjemahkan Barathayuddha ke bahasa Jawa kuno. Majapahit mengambil alih semua kebesaran Joyoboyo, juga meniru membangun angkatan laut yang disegani di dunia.
            Dalam agama Jowo Sanyoto memiliki kiblat empat. Utara Selatan Timur Barat, mirip dengan ritual berkeliling dalam Buddha, ditambah lima pancer atau pusat, yakni bertemu diri dalam keheningan. Bukan bertemu sang Maha Esa. Ritual lain dalam Jowo Sanyoto ialah melakukan ritual pada subuh dan senja hari, mirip dalam salah satu agama monotheis lain. Adapula persembahan atau sesajen yang berbentuk kompas mengarah keempat mata angin, ini mirip dengan Hindu.
            Monotheisme dalam Jowo Sanyoto lebih progressif dan dinamis karena mempercayai reinkarnasi pada sang penerima wahyu, sehingga bertentangan dan melangkahi pandangan agama lain yang salah satunya menyebutkan adanya nabi dan rasul pembuka dan penutup. Poin penting Jowo Sanyoto mengakui semua kitab suci besar dan semua orang suci atau para nabi dan rasul.
            engetahuan mengenai agama pendukung kejayaan Majapahit ini digelapkan dalam sejarah oleh oknum-oknum yang tidak menginginkan agama dan negara Majapahit bangkit kembali. Oleh sebab itulah yang terjadi adalah kesesatan umat dengan membikin aliran-aliran yang tidak jelas juntrungnya di masa modern ini.
            Jowo Sanyoto memang sudah terkubur hampir enam ratus tahun lalu, berkat kebobrokan para pejabat dan punggawa yang korup ditambah serbuan dari utara yang membawa keyakinan baru dan ujungnya ambruknya Majapahit menjadi kerajaan kecil-kecil yang di kemudian hari dapat dengan mudah ditaklukkan oleh bangsa Barat yang datang ke Nusantara. "Dalam negara baru diiring kekuasaan baru juga membawa agama baru," begitulah kata pujangga masyhur Pramoedya Ananta Toer.


______________

Pada 1983 agomo Jowo Sanyoto pimpinan Ki Kere di Klaten, Jawa Tengah dilarang oleh rejim "Orde Baru".


Rahasia Pertapaan Gunung Wilis

Pada 1207 Dandang Gendis atau Sri Krtajaya Putra Mahkota kerajaan Kediri terakhir naik gunung Wilis untuk mengejar cintanya pada dewi Amisani anak Resi Brahmaraja.
Dandang Gendis kelak setelah menduduki tampuk singgasana kekuasaan di kerajaan Kediri pada akhirnya ditaklukkan oleh pasukan Arok di desa Ganter pada 1222 yang membikin pamor kerajaan Kediri menjadi pudar, mati suri, menjadi kerajaan kecil, dan kerajaan bawahan. Serangan Arok itu kelak dibalas oleh Jayakatwang  seorang raja Kediri berikutnya, yang berhasil menyerang kerajaan Singosari dan hingga bahkan berhasil membunuh Baginda Sri Krtanegara sendiri pada 1290-an.
 Resi Brahmaraja seorang pertapa di masa itu yang hidup bersama putrinya dewi Amisani. Konon kecantikan dewi Amisani tersebar ke seantero penjuru kerajaan Kediri. Dalam mengejar cinta dari sang pujaan hati inilah yang membulatkan tekad Dandang Gendis, yang masih sebagai seorang putra mahkota Kediri nekad kabur sendirian dari istana memasuki hutan belantara Wilis untuk menemukan di mana tempat tinggal sang pujaan hatinya.
Gunung Wilis yang termasuk gunung berapi memiliki satu puncak tertinggi yang bentuknya tidak lancip akan tetapi agak datar dan panjang. Sampai hari ini dari puncak Wilis mengalir berbagai sumber mata air yang turun ke bawah sebagian membentuk beberapa air terjun.
Salah satu air terjun dari puncak Wilis sebelah selatan di wilayah Besuki adalah Irenggolo. Kemudian di sebelah utara Wilis di wilayah Sawahan terbentuk pula air terjun Sedudo, konon Sedudo menjadi pasangan gaib daripada air terjun Coban Rondo yang terletak di wilayah Waduk Selorejo, Malang. Di samping kedua air terjun itu, kira-kira pada bagian tengah hampir mendekati puncak Wilis paling tinggi terdapatlah Air terjun Ngleyangan yang masih perawan di wilayah Bolawen.
Jika Irenggolo dan Sedudo sudah dibuka menjadi obyek wisata, air terjun Ngleyangan masih bertahan di tengah hutan belantara dan belum dibuatkan jalan ke sana. Lokasinya dari jalan aspal kira-kira satu jam jalan kaki orang dewasa.
Puncak air terjun Ngleyangan ternyata lebih dahsyat indahnya dibanding semua air terjun dari puncak Wilis lainnya,  di puncak air terjun terdapat sisa situs berupa sumur dan patung-patung Hindu. Konon di situlah tempat Mpu Brahmaraja hidup bersama putrinya dewi Amisani menjalani laku tapa, walaupun sangat tersembunyi di tengah hutan belantara tempat itu pun akhirnya berhasil ditemukan oleh Dandang Gendis setelah berbulan-bulan mencarinya.
Untuk sampai ke atas sana tidak banyak rute yang bisa ditempuh, dan yang paling mudah memang hanya berpatokan pada beberapa rute memutar menuju lokasi puncak Air terjun Ngleyangan. Pada puncak air terjun itulah dahulu tempat Mpu Brahmaraja bertapa, dan ke tempat itulah Dandang Gendis pernah hidup bersama pertapa itu untuk beberapa waktu lamanya sampai ia dijemput pulang ke keraton Kediri untuk dinobatkan menjadi raja Kediri yang baru bergelar Sri Krtajaya untuk menggantikan Jayasheba yang mangkat beberapa bulan sebelumnya.
Dandang Gendis yang tengah marak sebagai raja Kediri sekaligus berhasil juga merebut hati putri Resi Brahmaraja tak lama berselang kemudian memboyong Dewi Amisani ke keraton Kediri yang kemudian dinobatkan untuk mendampinginya sebagai Paramesywari Kediri.


Rahasia Kraton Sri Aji Jayabaya


Rahasia Kraton Sri Aji Jayabaya

Kraton atau pusat istana kerajaan Kediri dengan rajanya yang termasyhur karena terbukti kebenaran ramalannya, Sri Aji Jayabaya, merupakan misteri karena lokasinya belum ditemukan siapapun. Adapun lokasi pamuksan dan makam beliau telah diketahui umum berada di daerah Mamenang, di sebelah timur Kediri.  Demikian pula menurut pengetahuan umum lokasi kraton Kediri semasa pemerintahan Jayabaya berada di sekitar wilayah kaki Gunung Kelud dianggap telah musnah terlanda lahar letusan gunung itu.
Dalam menguak misteri kraton Jayabaya masa silam, di samping mengacu pada peninggalan arkeologis dan transkrip yang berhasil ditemukan para pakar dalam bidang tersebut, perlu juga mengkaji ilustrasi masa kini wilayah kerajaan Kediri; di pusat kota Kediri di sisi timur sungai Brantas terdapat sebuah pasar tradisional, Setono Bethek, istana bambu. Ada lagi Setono Gedhong, istana batu. Tempat-tempat tersebut benarkah ada kaitan dengan istana kerajaan Kediri di masa silam? Atau sekadar makam para ulama penyebar agama Islam belaka? Ada sebuah nama lain di tepi Barat sungai Brantas yang menarik: Bandar Lor, Bandar Kidul. Tampaknya memang di masa silam sebuah pelabuhan kuno!
Berabad-abad sosok menarik Sri Aji Jayabaya dengan ramalan-ramalannya yang sebagian orang, terutama penduduk di pulau Jawa percaya dan menganggap bahwa ramalan itu telah terbukti kebenarannya, misalnya sosok kepemimpinan Presiden Sukarno telah diramalkan beliau sebagai seorang putra dari ibu berasal dari pulau Dewata; ramalan lain lagi masuknya balatentara Dai Nippon yang seumur jagung itu diramalkan 900 tahun silam sebagai si kate cebol kepalang, dan seterusnya, maka kami ingin menambahi sekadar wawasan guna mengarahkan pembaca dan pemerhati sejarah Kediri mengenai kemungkinan adanya keraton Kediri di lokasi lain yang masih merupakan misteri.
Pada kira-kira 1135 maraklah raja Kediri kelak kemudian menjadi raja besar Nusantara: Joyoboyo, Jayabaya, atau Jayabhaya. Kekuasaannya berpusat di Kediri, Jatim, dan wilayah di bawah pengaruh kekuasaannya mencakup seluruh Pulau Jawa (Java) ditambah Jambi, Tidore, dan Kalimantan.
Kediri, kini yang kita kenal sebagai kotamadya, dulu merupakan pusat pemerintahan sebuah kerajaan maritim Jawa yang berhasil mempersatukan sebagian besar wilayah Nusantara, selalu mendapat serbuan dari berbagai pasukan asing: pada 1007 Sriwijaya menyerbu kerajaan Medang Kamulan di Kediri untuk menggulingkan prabu Dharmawangsa sebagai balasan atas serangan Medang terhadap kerajaan Sriwijaya pada 990, Arok mengalahkan pasukan Kediri di Ganter 1222 yakni di sebuah desa di sekitar daerah Pujon, Malang, selanjutnya pada 1292 pasukan Mongol Kublai Khan menyerbu dengan 1000 kapal yang berlayar langsung dari Tiongkok untuk membalas dendam pada Sri Krtanegara. Apa lacur? Oleh mantu raja Jawa (Krtanegara) tersebut, Raden Wijaya, pasukan Mongol digiring dipersilahkan menggempur kraton Kediri Jayakatwang, hingga musnah.
Sejarah mencatat Sri Krtanegara yang mengucapkan sumpah "Pamalayu" dalam mempersatukan Nusantara, pada akhirnya gagal karena keburu diserang pasukan Kediri, Jayakatwang dengan bantuan sang putra mahkota Raden Ardaraja yang juga merupakan salah satu anak mantu sri Krtanegara penguasa Singosari, di samping juga anak mantu lainnya Raden Wijaya yang bersikap netral dalam kemelut tersebut. Dengan bantuan orang dalam di kerajaan Singosari tersebut akhirnya pasukan Kediri berhasil mengalahkan Singosari dan sekaligus Sri Krtanegara sendiri gugur dalam serbuan pasukan Kediri yang sama sekali di luar dugaan tersebut. Dengan gugurnya Krtanegara maka berakibat Singosari pun pun runtuh.
Selanjutnya Raden Wijaya dalam menghadapi pasukan Mongol yang telah menggempur Kediri dan menewaskan Jayakatwang menggunakan taktik klasik Jawa dengan menyuguhkan tuak terbaik dari tanah Jawa bagi seluruh personel pasukan Tiongkok -- tentu dengan dalih minuman persahabatan. Oleh karena pasukan Mongol yang biasa menenggak minuman keras itu tingkahnya "rese", sehingga pada akhirnya Raden Wijaya dan pasukan Jawa menghalau secara paksa agar pasukan Mongol kembali ke kapal mencabut sauh pergi belayar ke Tiongkok kembali. Sebagian pasukan Mongol yang menolak kembali dan ingin tinggal di Jawa tentu diijinkan, dan bagi pasukan Mongol yang mengajak ribut tentu dapat dilayani oleh pasukan Raden Wijaya. Oleh karena misi pasukan Mongol telah mereka anggap selesai, maka sebagian besar dengan senang hati walau dalam keadaan setengah mabuk untuk naik ke kapal mereka.
Dengan runtuhnya Singosari oleh Kediri dan hancurnya Kediri oleh pasukan Tartar, maka Majapahit yang mulai dibangun Raden Wijaya sesudah pasukan Tartar kembali ke negerinya mulai menjadi kerajaan baru di Nusantara yang berkembang tanpa gangguan dari kerajaan lain di Jawa Timur.
Serbuan lain yang menimpa Kediri yakni pada 1527 Brawijaya terakhir dari kerajaan Daha (Kediri) digempur oleh pasukan Mataram Islam Trenggono. Terakhir pejuang nasional Trunojoyo berhasil dikalahkan oleh Belanda di Kediri.
Dalam Babad Kadhiri disebutkan bahwa membangun basis pertahanan di Kediri akan selalu kalah jika diserang musuh lebih dulu, "Hamula, saben ana paprangan, yen sing nantang perang kuwi wong Kediri, wong Kediri mesthi menang. Nanging yen wong njaban Kediri sing ngrabasa utawa nantang luwih dhisik, wong Kediri lumrahe bakal kalah." Terjemahan bebas kurang lebih, "Oleh karena itu, tiap terjadi peperangan, apabila orang Kediri yang menantang musuh dan menyerang secara langsung atau memulai untuk berperang lebih dulu, maka pasukan orang Kediri pasti selalu menang. Akan tetapi apabila pasukan asing dari luar kediri menggempur dan menyerbu atau menantang langsung untuk berperang lebih dulu, maka sudah lumrah sebagai tuan rumah pasukan Kediri akan menderita kekalahan."
Pada masa pemerintahan Jayabaya kekuatan militer kerajaan maritim Kediri terletak pada angkatan lautnya yang kuat pada masanya hingga mampu menjaga wilayah kerajaan di seberang pulau yang jauh dari pusat kekuasaan di pedalaman Jawa bagian timur itu.
Kota Kediri yang kita kenal sekarang dibelah oleh sungai Brantas, sungai itu lebarnya kurang lebih 1000 meter. Di masa silam, kapal-kapal perang dan dagang diperkirakan bisa melayari sungai Brantas sepanjang aliran mulai dari pelabuhan laut di Surabaya terus masuk ke pedalaman hingga merapat pusat kota Kediri, sekarang lokasi pelabuhan di tepi sungai di Kediri itu diberi nama pelabuhan Jayabaya, lokasinya di daerah yang kini bernama Bandar Lor.
Satu kilometer ke barat sejak pelabuhan Bandar atau pelabuhan Jayabaya tersebut terbentang jalan lurus menuju bukit Klotok (arti harfiahnya: kolo thok, banyak kolo, banyak penyakit).
Sebuah prasasti batu raksasa masih menjadi misteri asal-usulnya, diperkirakan dibangun di masa jaman keemasan kerajaan Kediri, yaitu era Jayabaya. Prasasti berbentuk goa berukuran 3 x 10 meter itu diberi nama Mangleng (artinya museum). Bangunan goa Mangleng atau Selomangleng, yang juga disebut museum Jayabaya yang didirikan sekitar tahun 1150-an pada masa Jayabaya itu letaknya cukup terlindung berada di antara bukit-bukit. Di sebelah depan (50 meter) adalah bukit Mas Kumambang yang menurut penduduk setempat terkenal dengan legenda maling sakti. Maling sakti yang hidup di masa kolonial Belanda itu bernama Ki Boncolono bersama dua sahabatnya Tumenggung Poncolono dan Tumenggung Mojoroto. Kuburan ketiganya berada di puncak bukit Mas Kumambang. Pemkot Kediri telah membangun tangga cor menuju puncak Mas Kumambang.
Mengapa cuma membangun sebuah goa batu alam dibandingkan tigaratus tahun sebelum itu telah berdiri Candi Borobudur yang megah di Jawa Tengah? 
Diperkirakan Goa Selomangleng merupakan bagian dari bukit Mas Kumambang (emas terapung), akan tetapi kemudian dipisahkan oleh jalan melingkari bukit tersebut, sehingga goa itu dapat dicapai dari dua jurusan.
Jika kita mendaki bukit Klotok itu lurus saja tepat setelah menempuh sekitar dua kilometer ke arah puncak bagian tengah, kita dapat menjumpai dan menemukan petilasan Dewi Kilisuci, tepat di sisi air terjun kecil mengalir ke bawah, menjadi sungai kecil. Dewi Kilisuci merupakan salah seorang anak Prabu Erlangga atau Airlangga yang bertakhta di Kediri pada 1035.
Petilasan Prabu Jayabaya yang dikenal sekarang di desa  Mamenang atau Pamenang kec. Pagu berada sekitar enam kilometer ke arah timur pusat kota Kediri berada di kawasan kaki gunung Kelud.
Pusat kerajaan Kediri diperkirakan berada di sekitar Goa Selomangleng, ada sebuah daerah Boto Lengket yang sekarang dijadikan markas Brigif (Brigade Infantri) XVI. Di lokasi Boto Lengket dekat desa Bujel itu tanpa sengaja telah ditemukan batu-batu bata berukuran besar terpendam dalam tanah yang mungkin merupakan bekas bahan pondasi bangunan. Menurut Babad Kadhiri, "Negara Daha sing dumunung ing sisih kulone Kali Brantas, ing wetane Desa Klotok lan Geneng banjur salin aran dadi negara Kediri," (terjemahan bebas kurang lebih, "Kerajaan Daha yang berkedudukan di sisi sebelah barat Sungai Brantas, dan berada di sebelah timur Desa/Gunung Klotok dan Desa Geneng maka di kemudian hari berganti sebutan menjadi Kerajaan Kediri,") ada kecocokan wilayah sekitar Boto Lengket, Desa Bujel yakni lokasinya berada di antara gunung Klotok dan Sungai Brantas sebagai lokasi pusat kraton Kediri. Penemuan itu belum pernah dipublikasikan, karena masih bersifat penemuan pribadi. Diperkirakan tepat di markas Brigif XVI yang baru dibangun dalam dua tahun terakhir itulah letak pusat Kerajaan Kediri di masa pemerintahan Prabu Sri Aji Jayabaya.
Mengapa Brigif XVI Kediri berada secara kebetulan dibangun di sana? Dari segi strategi perang, maka lokasi itu sangat strategis untuk medan pertahanan dari serangan musuh. Letaknya berada di antara bukit-bukit yang berhutan lebat di masa lalu, cocok untuk berlindung sementara bila diserang musuh. Dan untuk mengundurkan diri dari serangan besar-besaran dapat masuk hutan di kaki bukit Klotok. Ditambah lagi pada masa silam, dari puncak bukit Mas Kumambang seorang prajurit dapat mengawasi pelabuhan dan seluruh kota Kediri, sekaligus memberikan isyarat kedatangan musuh yang menyerang dari sungai atau dari daratan.
Memang benar-benar strategis tempat itu dalam strategi perang kuno.
Di sekitar daerah hipotesis kraton di bagian sebelah utara kawasan itu terdapat sumber mata air yang sampai hari ini tidak pernah kering sekalipun kemarau panjang.
Demi efektifnya roda pemerintahan maka lokasi kraton itu tidak begitu jauh dari pelabuhan hipotesis Bandar. Tatkala tamu kehormatan kerajaan datang melalui sungai brantas, perjalanan tidak begitu jauh untuk sampai tujuan di kraton Kediri.
Museum Airlangga di sisi selatan bukit Mas Kumambang yang dibangun oleh Pemkot Kota Kediri letaknya persis di seberang Museum Jayabaya yang dibangun Prabu Jayabaya, Goa Selomangleng. Goa Selomangleng selama ribuan tahun menjadi prototipe rumah-rumah penduduk di tanah Jawa. Ada senthong kiri, ada senthong kanan. Dan ada dua ruang tengah.  Dalam tradisi Jawa senthong tengah tidak boleh dihuni. Dan hanya dipergunakan untuk upacara tertentu atau meletakkan sesaji.
Goa Batu itu di dalamnya penuh dengan hiasan gambar-gambar dinding, dan pada senthong kanan (dilihat dari luar goa) terdapat tempat pemujaan patung prabu Airlangga penjelmaan Wishnu yang masih mulus belum dirusak tangan jahil. Pada pintu masuk dari depan sebelah kiri (terdapat dua "pintu" utama di bagian depan goa) ada penyambut berupa patung batu berbentuk garuda tumpangan Sang Prabu Erlangga yang mulai rusak oleh tangan jahil.
Salah satu ramalan Jayabaya, Ronggowarsito, dan uga wangsit Siliwangi yakni menyangkut kemunculan ratu adil atau lebih populer dan salah kaprah disebut sebagai "satrio piningit" yang berwujud bocah angon bertempat tinggal di tepi sungai,  bukankah hingga sekarang  nama sungai tersebut masih misteri? "Satrio Piningit" itu tinggal di rumah tingkat tiga yang di depan rumahnya terdapat dua jenis pohon: Hanjuang (pohon ini daunnya berwarna merah hati tua (marun) biasanya digunakan pada acara nadran syeh abdul qadir jaelani), dan Handeuleum (pohon ini cuma setinggi setengah meter dan berbatang lunak ini serta berdaun merah hati tua (marun) ini di Jawa Barat digunakan sebagai tanaman obat, rebusan daun Handeuleum dipercaya dapat menyembuhkan wasir atau ambeien). Bisa jadi sungai yang dimaksud bila menurut ramalan itu sang ratu adil muncul dari sebelah timur Gunung Lawu, maka terdapat Sungai Madiun, dan jika sebelah timur Gunung Lawu yakni Gunung Wilis maka sebelah timurnya (daripada G. Wilis) terdapat Sungai Brantas, kedua sungai tersebut berada di wilayah Jawa Timur.
Sebagai sebuah hipotesis saat ini samar-samar sang ratu adil dengan ciri-ciri tersebut memang sudah muncul bahkan mencalonkan diri sebagai orang nomor satu di NKRI, akan tetapi belum berhasil karena terganjal undang-undang pemilihan calon presiden yang hanya dapat dilalui dari satu pintu, yakni melalui pencalonan yang diajukan oleh satu atau gabungan daripada partai politik. Diharapkan di masa depan diupayakan solusi yang lebih baik serta lebih adil lagi guna mendapatkan pemimpin yang terbaik di Nusantara, yakni dengan merevisi undang-undang yang terkait sistem pencalonan presiden sehingga memungkinkan tampilnya calon presiden dari wakil independen. Satrio piningit (yang dimaksud di sini Ratu Adil) itu mendapat dukungan kuat langsung maupun tak langsung dari sebuah perusahaan raksasa G2 yang berada di tepi Sungai Brantas kota Kediri, kantor pusatnya yang berlantai tiga tepat di seberang pelabuhan wisata Jayabaya. Satrio Piningit yang masih samar-samar itu berasal dari daerah yang lokasinya tepat simetris di tengah daripada ujung barat dan timur pulau Jawa.
Saat ini permunculan samar-samar Satrio Piningit (yang dimaksud di sini ratu adil) yang kelak memimpin Nusantara memang belum menerima wahyu illahi atau pulung keprabon, momen itu akan datang kelak usai terjadi goro-goro/huru-hara besar terjadi atas kehendak tuhan; huru-hara usai akan terbentuklah tatanan dunia baru berikut peran dan kedudukan Nusantara tertinggi di bumi selatan. Tatanan pemerintahan baru di Nusantara kelak itulah yang dipimpin oleh sang ratu adil.


Pada Jaman Dahulu, Di Kediri ada sebuah kerajaan besar. Kerajaan Medang namanya. Rajanya bernama Prabu Airlangga. Prabu Airlannga berasal dari Pulau Bali. Ia adalah seorang putra raja di Bali. Ia menjadi Raja Medang setelah menikah dengan Putri Raja Medang.
Saat usia Prabu Airlangga sudah tua, Ia ingin menjadi pertapa. Tahta Kerajaan Medang akan di serahkan pada Putri Permaisurinya yang hanya seorang. Ia putri yang cantik jelita. Namanya Dyah Sangramwijaya.
Dyah Sangramwijaya menolak keinginan Ayahanda nya. Ia tidak punya keinginan menjadi Raja. Yang menjadi keinginan Dyah Sangramwijaya adalah menjadi seorang pertapa. Ia lalu meminta restu ayahanda nya menjadi pertapa di Goa Selomangleng ( Di Kaki Gunung Klotok Kecamatan Mojoroto Kota Kediri). Ia pun mengubah namanya menjadi Dewi Dewi Kilisuci.
Prabu Airlangga lalu berkeinginan menyerahkan tahta kerajaan pada putranya yang berasal dari selir ( Istri tidak resmi ). Kebetulan sekali, Ia memiliki dua putra dari selir. Kedua Putranya bernama Raden Jayengrana dan Raden Jayanagara. Prabu kebingungan untuk memilih salah satu yang akan di beri tahta Kerajaan Medang.
Prabu Airlangga berusaha mencari jalan keluar yang adil. Ia menyuruh Empu Baradha untuk pergi ke Bali. Empu Baradha disuruh meminta tahta kerajaan milik Ayahanda Prabu Airlangga di Pulau Bali untuk salah satu putranya.
Namun, Tahta kerajaan milik ayahanda Prabu Airlangga di Bali sudah diberikan kepada adik Prabu Airlangga.
 " Tahta milik Ayahanda Prabu Airlangga di Pulau Bali sudah diberikan kepada adik Prabu Airlangga yang bernama Anak Wungsu!" Lapor Empu Baradha setibanya dari Pulau Bali.
" Tak apa-apa, Bapak Empu! Terima kasih Bapak Empu sudah melaksanakan apa yang kusuruh. Sekarang bantu aku membagi Kerajaan Ini dengan adil untuk kedua putraku, Raden Jayengrana dan Raden Jayanagara!"
”Baiklah, Baginda Raja! Bagaiman kalau hamba yang membagi kerajaan medang ini menjadi dua bagian yang sama besar?"
" Itu lebih baik Bapak Empu! Tapi, bagaimana caranya Bapak Empu membagi kerajaan ini menjadi dua bagian sama besar?"
" Serahkan semuanya pada hamba,Baginda Raja! Hamba yang akan mengaturnya!"
" Baiklah Bapak Empu! Kuserahkan semua persoalan ini kepada Anda!"
 Keesokan harinya, Empu Baradha terbang sambil membawa Kendi ( Teko dari tanah liat ) berisi air. Dari angkasa, ia tupahkan air kendi itu sambil terbang melintas persis di tengah-tengah Kerajaan Medang. Ajaibnya, Tanah yang terkena tumpahan air Kendi langsung berubah menjadi sungai. Sungai itu semakin besar dan airnya deras. Sungai itu sekarang bernama Sungai Berantas.
Kerajaan Medang pun sekarang terbagi menjadi dua bagian. Batasnya adalah ciptaan Empu Baradha. Prabu Airlangga pun menyerahkan dua bagian dari Kerajaan Medang itu kepada Raden Jayengrana dan Raden Jayanagara.
 " Bagian Kerajaan Medang sebelah timur sungai aku serahkan pada Putraku Raden Jayengrana! Kerajaan itu aku beri nama Kerajaan Jenggala, Sedangkan bagian barat sungai aku serahkan pada putraku Raden Jayanagara. Kerajaan itu kuberi nama Kerajaan Kadiri ( sekarang Kota Kediri )." titah Prabu Airlangga.
Kini tentramlah hati Prabu Airlangga. Ia dengan tenang pergi dari Kerajaan Medang ( Sebelum terbelah ) untuk menjadi seorang pertapa. Prabu Airlangga menjadi pertapa di Pucangan. Ia mengganti namanya menjadi Maharesi Gentayu. Ketika meninggal dunia, Jenazah Prabu Airlangga dimakamkan di lereng Gunung Penanggungan sebelah timur.
That's the Legend..