Goa batu alam
pertapaan Dewi Kilisuci yang berada di Gunung Klotok berukuran sekitar 3x4
meter persegi, di bagian dalam goa terdapat prasasti huruf Palawa yakni pada
bagian dinding bawah. Goa batu hasil pahatan tangan nenek moyang itu oleh
penduduk setempat mendapat julukan Goa Selo Bale, artinya kurang-lebih bangunan
tempat tinggal.
Goa inilah pusat
perhatian di masa pemerintahan Baginda Erlangga 1035-an sewaktu beliau yang
sudah sepuh memutuskan turun takhta dan menjadi pertapa di lereng gunung
Penanggungan. Sedangkan Putri Mahkota pewaris kerajaan Dewi Kilisuci yang
seharusnya menaiki singgasana karena menderita penyakit kedhi alias tidak
pernah mengalami menstruasi -- sehingga kemudian dianggap wanita suci pepunden
tanah jawi -- akhirnya juga ikutan bertapa mendaki Gunung Klotok.
Babat Kadhiri menyebut sekilas mengenai perilaku orang Kediri yang
meniru-niru laku Dewi Kilisuci, akan tetapi sayangnya meniru dalam fasal
adigang, adigung, dan adiguna, baik kaum wanitanya maupun kaum prianya. Konon
terdapat kutukan pada kerajaan Kediri tatkala terlibat dalam peperangan dengan
musuh sebagai berikut, "Jika pasukan Kediri menyerang musuh di daerah
lawan lebih dulu akan selalu memenangkan pertempuran, akan tetapi sebaliknya
jika musuh langsung menyerang ke pusat kerajaan Kediri lebih dulu maka musuh
itu akan selalu berhasil memperoleh kemenangan yang gemilang." Barangkali
karena kutukan itulah konon para presiden Republik Indonesia selalu menghindari
untuk singgah ke kota Kediri dalam setiap perjalanan di wilayah Jawa Timur.
Mungkin tatkala sedang singgah di kota Kediri mereka beranggapan akan mudah
diserang oleh musuh atau lawan politiknya.
Berkaitan turun takhtanya Sri Baginda Erlangga
atau Airlangga sejarah kemudian mencatat atas perintah baginda maka kerajaan
dibagi dua oleh Mpu Bharada, dan masing-masing bagian kerajaan, Daha dan
Jenggala, dipimpin oleh putra dari selir Erlangga.
Sebuah pengalaman
singkat mengunjungi situs pertapaan Dewi Kilisuci pada 1990-an selama beberapa
minggu, maka siapa pun yang beruntung tatkala mengunjungi goa batu alami di punggung
gunung Klotok sebelah Timur segaris lurus dengan Goa Selomangleng akan
menjumpai seorang pertapa sepuh berusia delapan puluhan. Tampilannya biasa saja
seperti petani, ia tidak mengenakan apapun selain celana panjang dan baju
safari, pakaiannya itu pun tampak sudah tua. Ia seorang diri berada di tengah
hutan belantara Klotok yang masih cukup lebat di masa itu. Air terjun di mulut
goa tak henti mengalirkan air jernih dari sumber mata air berupa bebatuan cadas
di punggung gunung itu.
Pertapa itu berambut
putih, bertubuh langsing, wajahnya tampak berseri-seri. Ia tidak banyak bicara
apalagi jika tidak ditanya oleh orang yang beruntung dapat menjumpainya di goa
Selobale tersebut.
"Bapak tinggal sendirian di sini sedang
melakukan apa?"
"Saya hanya
menjaga tempat ini atas dawuh susuhunan kraton Solo. Karena kami dari kraton
Solo menganggap di sinilah tempat pertapaan Dewi Kilisuci yang sebenarnya, dan
bukan di Goa Mangleng di bawah sana maupun di tempat lainnya, Selomangleng itu
hanya sebuah museum belaka," katanya penuh keyakinan. "Kami dari
kraton Solo juga percaya bahwa leluhur kami berasal dari wilayah ini (dari
Kediri, Jawa Timur)." Ia tidak menjelaskan lebih lanjut tugas yang
diembannya dan juga alasan mengapa goa itu harus dijaga saat ini.
Selanjutnya ia
mengalihkan pembicaraan pada bangunan di luar goa, tepatnya di mulut goa
terdapat jurang dan di seberang jurang yang menganga berukuran tiga meter lebar
itu terdapat lubang goa mini berukuran satu meter persegi. Mengenai sedikit
hipotesis mengenai misteri goa Selo Mangleng yang belum pernah dipublikasikan
baca tulisan kami yang lain di blog ini berjudul, "Rahasia Kraton Sri Aji
Joyoboyo".
"Di tiga
ceruk/cekungan dinding gunung berupa batu cadas itulah para prajurit kerajaan
Kediri bertugas menjaga keamanan dan mudah mengawasi tempat ini," ujarnya.
Ia tidak menjelaskan lebih lanjut pengetahuannya yang mendalam mengenai goa
selobale. Barangkali ia tengah mengadakan studi mengenai situs goa selobale
dengan cara spiritual.
Memang jika kita
tengah berdiri di goa selobale maka samar-samar tampak di seberang air terjun
mini tampak pada dinding bukit batu yang kemiringannya 90 derajat atau tegak
lurus itu terdapat goa-goa berjumlah tiga yang jaraknya satu sama lain
teratur simetris dan berukuran satu meter persegi.
"Tempat ini dulu
tidak seperti ini, Ada jalan penghubung antara penjaga di seberang dan goa Selo
Bale ini. Wilayah ini sekarang dikuasai pihak militer dan dijadikan ajang
latihan perang-perangan menggunakan amunisi sungguhan. Mortir atau meriam biasa
digunakan jika sedang masa latihan pada tahun 70-an. Dan senapan serbu laras
panjang tidak terhitung lagi jumlah pelurunya yang berhamburan di sekitar goa
ini."
Memang benar semua
itu, penduduk di kawasan ini sudah tahu hal itu dan menganggap sebagai
hal biasa. Memang tidak ada unsur kesengajaan dari militer untuk merusak situs
itu, akan tetapi situs itu secara tak langsung terkena dampak buruknya.
"Goa Selo Bale
inilah yang benar-benar jadi tempat pertapaan putri Erlangga itu, bukan di Goa
Selo Mangleng, itu hanya museum semata-mata," ujar lelaki tua mengulangi
apa yang sudah dikatakannya belum beberapa bentar, kembali suaranya terdengar mantap
dan meyakinkan.
"Dulu tempat ini tidak sedalam ini, hanya
sampai sebatas sini," katanya menunjuk lantai goa. "Orang-orang yang
mencari harta-karun mencoba menggali dinding ini hingga bertambah sekitar
setengah meter. Tampaknya tidak berhasil mendapatkan apapun."
"Sampai sekarang
orang belum berhasil menemukan peninggalan heboh kerajaan Kediri. Mungkin
berada di balik bukit ini!" katanya serius, sambil menunjuk suatu sudut
punggung gunung. Jika kita berjalan melingkari bukit dan tiba di
balik bukit itu memang terdapat air terjun kecil, Tretes. Dan di seberang
sana sebelah selatan terdapat daerah dengan julukan Gemblung, bila orang
berjalan di atas daerah itu seolah ada suara dari dasar tanah berbunyi
"bung, bung, bung." Mungkin ada semacam ruang bawah tanah berukuran
besar.
Di balik bukit
sebelah timur terdapat sumber air suci Gunung Klotok, tempat itu terkenal
dengan sebutan Sumber Loh, karena di hulu aliran air yang lumayan deras itu
kebetulan terdapat sebatang pohon Lo berukuran raksasa, dan dari lobang-lobang
di sekitar akar pohon itulah awal mula mata air yang terus memancar sepanjang
masa, tak kenal musim, dan tak kenal jaman.
Tahun berganti tahun
berlalu di Goa Selobale, dan kini keadaan telah berubah, jika orang tersasar
atau sedang mendaki gunung Klotok dan tiba di tempat itu akan menjumpai kembali
goa tersembunyi itu sunyi seperti sediakala. Tidak seorang pun berada di sana
untuk dapat diajak bicara, kecuali suara serangga yang berdengung siang-malam.
Kesunyian itu juga melanda sebuah goa misteri yang lain lagi berada di balik
bukit tempat goa Selobali bertengger, goa yang lain itu disebut "Goa
Kikik", arti harfiahnya kurang lebih goa mini. Barangsiapa mencoba melacak
keberadaan goa yang satu itu akan kesulitan menemuinya karena tiada bedanya
dengan bongkahan batu biasa yang bertebaran di sekitar lokasi goa Kikik. Akan
tetapi perlu diketahui bahwa goa Kikik memang goa asli pahatan tangan
nenek-moyang di masa silam. Di masa silam Goa Kikik menjadi salah satu garis
pertahanan lain dari arena perbukitan itu untuk mengawasi dan memapak pendatang
pada masa silam dari jurusan barat laut yang sedang mengarah ke Goa Selo Bale
dengan niatnya masing-masing.